Jumat, 23 Mei 2008

METODE PEMBELAJARAN FIQH

METODE PEMBELAJARAN FIQH
Di MAN Surabaya


A. Metode Pembelajaran
Dalam rangka efektifitas dan efisiensi pembelajaran materi fiqh di MAN Surabaya ada beberapa metode pembelajaran yang dipergunakan, antara lain:
1. Ceramah : Metode ini digunakan pada setiap materi yang memerlukan pemahaman mendalam yang bersifat keilmuan (tidak terlalu cenderung pada materi praktis). Metode ini digunakan hampir 50% dari seluruh metode pembelajaran yang digunakan.
2. Tanya jawab : Metode interaktif dialogis antara guru dan siswa ini digunakan sebagai wahana mengembangkan kreatifitas berfikir dalam rangka problem solving dan pembudayaan proses pembelajaran yang humanis. Metode ini juga sebagai salah satu pengakomodasian perbedaan pendapat (khilafiyah) dalam permasalahan fiqh.
3. Demonstrasi : Metode ini digunakan setelah penyampaian materi secara teoritis selesai secara mendalam (pendalaman keilmuan) pada jam pelajaran sebelumnya. Hal tersebut untuk memastikan adanya pemahaman dan pelaksanaan yang benar tentang teori fiqh yang sudah diberikan.
4. Diskusi : Metode ini dilakukan untuk memberi ruang gerak yang luas bagi pengembangan potensi akademik siswa. Guru dalam hal ini bergerak sebagai pengarah.
5. Pemberian tugas : Seperti membuat; paper, laporan interview dan lain-lain.

B. Metode Evaluasi
Dalam melaksanakan evaluasi, metode yang digunakan adalah:
1. Tulisan : Dalam metode ini, jenis yang digunakan adalah: pilihan ganda dan uraian (problem solving). Metode ini digunakan untuk mengukur kemampuan dalam ronah kognitif maupun afektif.
2. Lisan : Dalam metode ini jenisnya adalah tanya jawab dan interview.
3. Praktek : Digunakan untuk mengukur kemampuan psikomotorik.
Metode-metode tersebut dimaksudkan untuk mengukur kemampuan dalam ranah kognitif, efektif, dan psikomotorik, kemudian nilai ketiga ranah tersebut diakumulasi menjadi nilai yang akan dijadikan data untuk dilaporkan dan dijadikan acuan pengambilan keputusan.

C. Kreteria Kenaikan
Madrasah Aliyah Negri Surabaya memberikan standart nilai pada materi pelajaran fiqh minimal nilai 6. Dengan demikian, bagi siswa yang nilai akumulatifnya kurang dari 6 maka harus melaksanakan ujian ulangan. Dalam hal ini siswa diharuskan mengulang hanya pada aspek-aspek dimana nilai yang didapat tidak mencapai target. Hal itu dikarenakan mata pelajaran fiqh menjadi mata pelajaran pokok dan inti. Betapa tingginya nilai rata-rata semua pelajaran apabila nilai fiqhnya tidak mencapai target, maka siswa tidak bisa dinaikkan.
Khusus dalam materi pelajaran fiqh, siswa yang diajar oleh bapak Drs. Abd. Salam, yaitu kelas I dan II. Hasil evaluasinya adalah 60 % siswa mampu mencapai nilai akumulasi 6 atau lebih pada pelaksanaan ujian, dan 40 % yang lain tidak. Sehingga mereka harus melaksanakan ujian ulang guna bisa mencapai target nilai yang ditentukan.

D. Komentar Dan Analisis
Dari hasil interview di atas dapatlah kita katakan, bahwa metode pembelajaran materi fiqh di MAN Surabaya yang masih didominasi oleh penggunaan metode ceramah menunjukkan bahwa guru masih menjadi dominan dan bahkan sentral. Hal tersebut juga dikarenakan dalam metode-metode yang lain guru masih mendominasi, seperti dalam metode demonstrasi dan tanya jawab. Dengan demikian kalau kita kaitkan dengan pengembangan KBK nampaknya masih kurang begitu baik. namun demikian, secara keseluruhan metode yang digunakan cukup berhasil dalam rangka mengantarkan siswa mencapai tarjet nilai yang ditetapkan. Data 60% berhasil dan 40% lainnya tidak berhasil mencapai nilai 6, menunjukkan cukupnya keberhasilan metode yang digunakan di sekolah ini.Dalam hal metode evaluasi yang digunakan maka dapatlah dikatakan bahwa metode tulisan, lisan dan praktek secara simultan dilakukan. Hal itu baik karena mata pelajaran fiqh bersifat teoritis dan praktis, seperti: shalat, memperlakukan jenazah, haji dan lain-lain. Dengan demikian hasil evaluasi akan mengedepankan data akan ada atau tidak adanya keseimbangan (balanc) antara nilai kognitif, afektif dan psikomotorik. Begitu juga, adanya keharusan siswa melakukan ujian ulang bagi yang nilai akumulasinya tidak mencapai nilai 6, memungkinkan siswa mampu menyeimbangkan kuantitas dan kualitas keilmuannya (ouput dan out come). Namun demikian, akan lebih baik apabila disamping ujian ulang dilharuskan hanya pada aspek yang tidak lulus saja, siswa yang nilainya sudah masuk kata gori lulus tapi tidak begitu bagus, agar diberikan tawaran boleh mengikuti ujian ulang untuk memperbaiki nilainya pada aspek yang kurang baik.

DIKOTOMI ILMU PENGETAHUAN DALAM PERSPEKTIF BARAT DAN ISLAM

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR............................................................................................... ii
DAFTAR ISI............................................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN................................................................................ 1
A. Latar Belakang................................................................................ 1
B. Permasalahan.................................................................................. 2
C. Tujuan............................................................................................. 3
BAB II : PEMBAHASAN.................................................................................. 4
A. Pecahnya Bidang-bidang Ilmu Pengetahuan Di Barat Dan Islam........ 4
B. Sejarah Historis Terjadinya Dikotomi di Islam dan Barat................... 5
C. Pandangan Islam dan Barat Terhadap Dikotomi Dalam Ilmu Pengetahuan 7
D. Upaya-upaya Mengintegrasikan Dikotomi Dalam Ilmu Pengetahuan. 14
BAB III : KESIMPULAN................................................................................... 16
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Dalam tataran definisi ilmu pengetahuan sudah mengalami perbincangan panjang, yaitu ilmu pengetahuan untuk science atau untuk knowledge, namun pada umumnya yang dipakai untuk saat ini adalah ilmu pengetahuan untuk science dan pengetahuan untuk knowledge, dan ada yang mengatakan bahwa pengetahuan untuk knowledge dan ilmu untuk science dengan asumsi awal bahwa dua ilmu pengtahuan memiliki dua kata benda, yakni ilmu dan pengetahuan.[1]
Pada perkembangan selanjutnya dimunculkan kata science yang dapat digunakan untuk ilmu pengetahuan sebagai jalan keluar atas kebingungan semantic yang melanda definisi ilmu pengetahuan itu sendiri. Kata sains merupakan terminology yang diadopsi atau bisa dipinjam dari bahasa Inggris yakni science. Namun kata sains ini tidak banyak dipakai dalam perkembangan aturan-aturan tersendiri.
Setelah mengalami perdebatan panjang, maka dalam Konferensi Ilmu Pengetahuan Nasional (KIPNAS) III LIPI yang berlangsung di Jakarta pada tanggal 15-19 September 1981 dinyatakan bahwa ilmu untuk science dan pengatahuan untuk knowledge dengan alasan pertama (1) Ilmu (species) adalah sebagian dari pengetahuan (genus); (2) Dengan demikian maka ilmu adalah sebagian dari pengetahuan yang mempunyai ciri-ciri ilmiah, atau dengan perkataan lain, ilmu adalah sinonim dengan pengetahuan ilmiah (scientific knowledge); (3) Menurut tata bahasa Indonesia berdasarkan hukum DM (Diterangkan Menerangkan) dan pernyataan ini pada hakikatnya adalah salah satu sebab ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang bersifat ilmiah, dengan penafsiran yang sama maka ilmu pengatahuan dapat diartikan sebagai ilmu dan pengetahuan.[2]
Al-Ghazali telah menetapkan definisi tentang apa yang disebut pengetahuan yang pasti, ia menyebutkan: akhirnya nyatalah kepadaku bahwa arti ilmu atau tahu yang sesuangguhnya itu adalah tersingkapnya sesuatu dengan jelas sehingga tidak ada lagi ruangan untuk ragu-ragu, tak mungkin salah atau keliru, tak di hati tempat untuk itu.[3]
Dengan demikian, ilmu atau pengetahuan menurut al-Ghazali tidak hanya menjauhkan dari segala keraguan, tetapi juga menghindari dari segala kemungkaran untuk salah dan sesat.
Dalam perkembangan ilmu pengetahuan yang terjadi pada saat ini mengenai fenomena pembagian (dikotomi) dalam ilmu pengetahuan bahwasanya Islam memang tidak pernah membedakan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum (keduniaan), dan tidak berpandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan.
Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai dikotomi ilmu pengetahuan dalam perspektif ibarat dan Islam yang akan membahas secara detail fenomena tersebut.
B. Permasalahan
Berpijak dari latar belakang yang telah dipaparkan di atas, maka dapat dirumuskan permasalahannya sebagai berikut:
1. Apakah anda melihat terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan dalam perspektif Barat dan Islam?
2. Mengapa terjadi dikotomi dalam ilmu pengetahuan di Barat dan Islam?
3. Seperti apa dikotomi yang terjadi?
4. Langkah-langkah/upaya-upaya apa untuk mengintegrasikan suatu dikotomi?
C. Tujuan
1. Untuk membuktikan terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan dalam perspektif Barat dan Islam.
2. Untuk mengetahui terjadinya dikotomi ilmu pengetahuan di Barat dan Islam.
3. Untuk mengetahui contoh kongkret dikotomi terjadi.
4. Untuk mengetahui upaya-upaya yang dilakukan untuk mengintegrasikan suatu dikotomi.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pecahnya Bidang-bidang Ilmu Pengetahuan Di Barat Dan Islam
Dunia Barat pada akhir abad pertengahan memiliki pengertian dasar yang sama. Dalam batas-batas tertentu orang menerima satu model atau gambar alam semesta yang sama. Masing-masing cara pengetahuan mempunyai bidangnya sendiri, dan semua memberikan sumbangan bagi pengetahuan mengenai suatu sistem yang pada dasarnya merupakan kesatuan. Timbulnya ilmu pengetahuan mematahkan kebulatan pola ini. Seperti telah kita ketahui, seperti dalam ilmu kosmologi keterangan material sesuai dengan hukum-hukum ilmu mekanika menggantikan keterangan-keterangan teologis yang mencari maksud dari segala sesuatu.
Sementara itu dunia ilmu pengetahuan sendiri terpecah-pecah dalam beraneka cabang ilmu-ilmu mekanika, astronomi, urai, faal, hayat dan kimia. Pada akhir abad XIX, ketika sistem klasik ilmu alam Newton mencapai puncaknya, ilmu pengetahuan nampak sebagai bagian-bagian dari suatu jendela kata yang berwarna. Akan tetapi tidak seorangpun dapat melihat seluruh polanya kecuali menurut pandangan mereka bahwa ilmu alam yang juga jaya pada waktu itu.[4]
Dalam Islam memang tidak pernah membedakan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum (keduniaan), dan atau tidak berpandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan. Namun demikian dinyatakan, bahwa masalah dunia tidak dianggap tidak penting dan menekankan pada pendalaman al-Ulum al-Diniyah (ilmu-ilmu keagamaan) yang merupakan dalam pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama.[5]
Di dalam kitab Ihya' Ulumuddin juz 1 bagian kitab al-Ilmu pada bab kedua dan ketiga, diterangkan secara luas dan mendalam mengenai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan tatanan sosial suatu masyarakat. Kemudian diklasifikasikan berdasarkan tiga kriteria, yaitu:
1. Berdasarkan tingkat kewajibannya, terdiri dari: ilmu pengetahuan yang fardhu 'ain dan fardhu kifayah.
2. Berdasarkan sumbernya, terdiri dari: ilmu pengetahuan yang terpuji (mahmud) dan ilmu pengetahuan yang terkutuk (madzmum).[6]
B. Sejarah Historis Terjadinya Dikotomi Di Islam Dan Barat
Sebelum kehancuran teologi mu'tazilah pada masa kholifah al-Ma'mun (198-218 H/813-833 M), mempelajari ilmu-ilmu umum (kajian-kajian nalar dan empiris) ada dalam kurikulum madrasah tetapi dengan kemakruhan atau bahkan lebih ironis lagi "pengaharaman" penggunaan nalar setelah runtuhnya mu'tazilah, ilmu-ilmu umum yang dicurigai itu dihapuskan dari kurikulum madrasah, mareka yang berminat mempelajari ilmu-ilmu umum dan yang mempunyai semangat scientific inquiry (penyelidikan ilmiah) guna membuktikan kebenaran ayat-ayat kauniyah, terpaksa harus belajar sendiri-sendiri atau dibawah tanah karena dipandang sebagai ilmu-ilmu subversif yang dapat menggugat kemapanan doktrin sunni, terutama dalam kalam dan fiqh. Adanya madrasah al-thib (sekolah kedokteran) juga tidak dapat mengembangkan ilmu kedokteran dengan bebas karena sering digugat fuqaha', misalnya tidak diperkenankan menggunakan organ-organ mayat sekalipun dibedah untuk diselidiki. Demikian pula, rumah sakit riset di Baghdad dan Kairo karena dibayangi legisme fiqh yang kaku akhirnya harus berkonsentrasi pada ilmu kedokteran teoritis dan keperawatan.[7]
Mengapa legisme fiqh atau syari'ah dan atau ortodoksi agama serta semangat intolerasi terhadap para saintis (dari kalangan ulama Islam dan apalagi dari non muslim) begitu dominant dalam lembaga pendidikan Islam. Menurut Azyumardi Azra (1999), karena: (1) Pandangan tentang ketinggian syari'ah atau ilmu-ilmu keagamaan, sebagai jalan tol untuk menuju Tuhan; (2) Lembaga-lembaga pendidikan Islam secara institusional dikuasai oleh mereka yang ahli dalam bidang ilmu-ilmu keagamaan sehingga kelompok sainstis (Dar al-Ilm) tidak mendapat dukungan secara instutisional, justru fuqaha berhadapan dengan tatanan saintis sehingga kaum saintis tidak berdaya menghadapi fuqaha yang mengklaim legitimasi religius sebagai the guardian of god's given law (pelindung/penguasa syari'ah); (3) Hampir seluruh madrasah/al-Jamiah didirikan dan dipertahankan dengan dana wakaf dari para dermawan dan penguasa politik muslim. Motivasi kesalehan mendorong para dermawan untuk mengarahkan madrasah pada lapangan ilmu-ilmu agama yang lebih banyak mendatangkan pahala, sementara itu penguasa politik yang memprakarsai berdirinya madrasah, mungkin karena dorongan politik tertentu atau motivasi murni untuk menegakkan oktodoksi sunni, sering mendikte madrasah/al-Jamiah untuk tetap dalam kerangka ortodoksi (kerangka syari'ah).
Bertolak dari kenyataan sejarah tersebut, maka kemunduran peradaban Islam serta keterlambatan sains dan teknologi di dunia Islam disamping karena faktor dari luar juga banyak dipengaruhi oleh faktor dari dalam diri umat Islam sendiri, yang kurang peduli terhadap kebebasan penalaran intelektual dan kurang menghargai kajian rasional-empiris atau semangat perkembangan ilmiah dan filosofis.
Dalam sejarah, dikotomi dalam ilmu pengetahuan yaitu ilmu pengetahuan umum dan agama atau antara ilmu pengetahuan agama dan non agama dapat dilihat pada masyarakat Barat abad Renaissance. Setelah berinteraksii dengan pengetahuan dan peradaban muslim abad pertengahan, Barat mulai menyadari ketertinggalan mereka. Hal ini memacu mereka untuk mengadopsi sebanyak-banyaknya ilmu pengetahuan dan peradaban muslim yang ketika itu berpusat di Spanyol, Silisia, Mesir dan Baghdad.
Namun suasana di Barat berbeda sekali dengan dunia Islam ketika itu umat Islam mengembangkan ilmu dan peradaban di bawah sinaran nilai-nilai agama. Karena agama Islam memang mengajarkan manusia untuk mencari dan mengembangkan ilmu. Sebaliknya ilmuwan-ilmuwan Barat yang sudah tercerahkan itu harus berhadapan dengan dogma-dogma Kristen yang penafsirannya dimonopoli oleh pemuka agama dan sering tidak sesuai dengan ilmu pengetahuan.
Pada abad XV teologi dan filsafat moral, berkembang ke arah bentuk-bentuk baru. Pada satu pihak ajaran S. Agustinus dihidupkan kembali. Sementara itu kaum pendukung Descartes telah memisahkan "roh" dari alam yang dipandang sebagai suatu mesin. Selain itu filsuf ulung yaitu Immanuel Kant, bahwa ia menolak metafisika, yaitu sistem-sistem lengkap yang menerangkan keseluruhan pengetahuan dan pengalaman.
Demikian besar kepercayaan pada ahli ilmu pengetahuan akan keterangan-keterangan obyektif mereka itu, sehingga orang boleh saja melupakan semua cara mengetahui yang lain atau bahkan menyangkal bahwa cara-cara itu sungguh ada. Orang berilmu melupakan kebudayaan dengan memungkinkan timbulnya ilmu-ilmu pengetahuan modern. Dalam dunia yang semakin maju, meskipun ilmu-ilmu yang integratif pesat pula berkembang sebagai reaksi terhadapnya seperti genetika, ekologi, antropologi dan lain-lain.[8]
Oleh karenanya di Barat terjadi dikotomi dalam ilmu pengetahuan menjadi beraneka cabang ilmu mekanika, astronomi, faal, hayat dan kimia. Hal itu terjadi pada akhir abad XIX.
C. Pandangan Islam Dan Barat Terhadap Dikotomi Dalam Ilmu Pengetahuan
Dikotomi dalam ilmu pengetahuan yaitu antara ilmu pengetahuan agama dan non agama merupakan pengakit Barat yang masuk ke dunia Islam. Sudah saatnya umat Islam mengembalikan dirinya seperti semula, yaitu tidak memetakkan ilmu dalam dunia Islam dan tinggalkan konsepsi dikotomi tersebut.
Al-Qur'an dan hadits Nabi, menuntun umat Islam untuk menuntut atau mencari ilmu pengetahuan sebab mencari pengetahuan merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Al-Qur'an telah mendorong kita untuk menggunakan akal dan panca indera untuk meningkatkan pengetahuan.[9] Ayat pertama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad serta memaklumkan kebangkitannya:
Bacalah dengan (atas) nama Tuhanmu yang menciptakan. Dia menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah dengan (atas) nama Tuhanmu Yang Maha Mulia. Yang mengajari menulis dengan qolam, diajarkan-Nya manusia apa yang ia tidak tahu. (Q.S. 96: 1-5)
Selain itu kemuliaan menuntut ilmu pengetahuan terhadap pada Q.S. 9: 122. dalam ayat tersebut mendorong setiap individu maupun kelompok untuk belajar, menuntut ilmu dan memperdalam ilmu pengetahuan dalam rangka meningkatkan ketaqwaan kepada Tuhan. Selain itu juga di dalam al-Hadits dijelaskan:
"Nabi Muhammad SAW mengatakan: sesungguhnya malaikat itu membentangkan sayapnya kepada penuntut ilmu, sebagai tanda ridha dengan usahanya itu". (HR. Ahmad, Ibnu Hibban dan al-Hakim dari Sofyan bin Assal)
Dalam Islam al-Qur'an tidak membedakan mana ilmu pengetahuan (umum) dan mana agama. Al-Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan yang dari sana lahir berbagai ilmu, sebagaimana dinyatakan oleh Ismail Raji' al-Faruqi yang mempunyai latar belakang pendidikannya pada pendidikan Barat dan dipercaya sebagai dosen di Mc Gill University (1959), tidak berarti al-Faruqi telah kehilangan identitas keislamannya. Bahkan sebaliknya, melalui pendidikan Barat ia justru memiliki kepribadian Islam yang kokoh, bukan terwarnai oleh sistem pendidikan yang ada. Kekuatan kepribadian keislamannya dapat terlihat jelas dari pandangan atau pendapat-pendapatnya baik secara lisan maupun melalui tulisan yang mencoba mengangkat wacana keislaman sebagai topic utama kebangkitan Islam.[10]
Dalam Islam al-Qur'an tidak membedakan mana ilmu pengetahuan umum, dan mana ilmu pengetahuan agama sebagai sumber ilmu pengatahuan yang dari sana lahir berbagai ilmu, sebagaimana dinyatakan oleh Ismail Raji' al-Faruqi sebagai ilmuwan Islam dan Barat dalam keyakinan agamanya, ia tidak melihat bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu. Karena ilmu dalam Islam bersumber pada al-Qur'an dan hadits. Bukan seperti sekarang, saat dunia barat maju dalam bidang ilmu pengetahuan, namun kemajuan itu kering dari ruh spiritual, itu tak lain karena adanya pemisahan dikotomi dalam ilmu pengetahuan antara ilmu agama dan non agama.
Di bawah ini dijelaskan beberapa pernyataan menurut para pemikir filosof muslim mengenai dikotomi dalam ilmu pengetahuan sebagai berikut:
1. Ibnu Maskawaih, lahir di Rayy sekitar tahun 320 H/432 M dan meninggal di Isfahan pada tanggal 9 Safar 421 H/16 Februari 1030 M. Maskawaih hidup pada masa pemerintahan Dinasti Buwaihi yang berlatar belakang madzhab Syi'ah. Perhatiannya menuntut ilmu sangat besar. Pemikirannya tentang pendidikan lebih berorientasi pada pentingnya pendidikan akhlak. Agar pendidikan mampu mengantarkan peserta didik pada tujuan pendidikan yang dimaksud, maka materi pendidikan yang ditawarkan mampu menyentuh hal-hal yang wajib bagi tumbuhnya potensi jasmani dan rohani peserta didik, serta persoalan-persoalan kemanusiaan. Ketiga bentuk materi tersebut bisa diperoleh melalui dua bentuk ilmu pengetahuan, yaitu: pertama, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan pemikiran (rasional). Kedua, ilmu-ilmu yang berkaitan dengan panca indera.[11]
2. Ibnu Sina, lahir pada tahun 370/980 di Afsyah, Bukhora. Sebagaimana umum pada zamannya, pendidikan Ibnu Sina bermula dengan pendidikan keagamaan, hingga pada usia sepuluh tahun ia sudah menghafal keseluruhan al-Qur'an dan menguasai secara baik disiplin-disiplin keagamaan lainnya. Dengan demikian karirnya di bidang filsafat dan sains didasari oleh pendidikan agama cukup solid. Disamping filsafat, ilmu kedokteran adalah bidang yang paling ditekuni Ibnu Sina, meskipun tidak berarti bahwa ia mengabaikan disiplin-disiplin sains lain yang sudah berkembang di masanya. Perlu diingat bahwa Ibnu Sina hidup pada zaman dimana kegiatan intelektual muslim sedang berada pada puncaknya. Jika kita telusuri, hampir semua disiplin klasik Islam mengalami pematangan pada abad ini. Ilmu-ilmu rasional dan sains kuno sudah berkembang sedemikian rupa hingga masa-masa tersebut sering dijuluki sebagai masa renaisains Islam. Kelompok-kelompok kajian (majelis) dibidang ini tumbuh dan kemudian berperan dalam proses kebangkitan peradaban.
3. Ibnu Khaldun, lahir di Tunisia pada tanggal 1 Ramadhan 732 H/27 Mei 1332 M. dan wafat di Kairo, 25 Ramadhan 808 H/19 Maret 1406 M. sejak kecil, ia telah mempelajari tajwid dan al-Qur'an, bahkan menghafalkannya. Ia juga fasih dan qira'at sab'ah. Dia juga mempelajari tafsir, hadits dan fiqh (Maliki), gramatika bahasa arab, ilmu mantiq, dan filsafat dengan sejumlah ulama Andalusia yang hijrah ke Tunisia. Dengan pendidikan yang demikian intensif dan didukung oleh keluarga dan kecerdasan yang baik, telah ikut membentuk kepribadian dan keluarga wawasan khaldun. Akan tetapi karena situasi yang tidak menguntungkan, maka ia memutuskan untuk meninggalkan dunia pendidikan dan terjun ke dunia politik. Meskipun ia disibukkan dengan urusan politik, namun minatnya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan tak pernah padam. Bahkan dalam pahit betir kehidupannya pada dua klasifikasi, yaitu: (a) Ilmu naqli (traditional science) yang meliputi al-Qur'an, hadits, ulum al-Qur'an, ulum al-hadits, fiqh, ushul fiqh, ilmu kalam, tasawuf, dan ta'bir ru'ya; (b) Ilmu aqli (national science) yang meliputi mantiq, fisika, matematika, kedokteran, pertanian, metafisika, geometri, aljabar, musik dan astronomi.[12]
4. Muhammad Abduh ibn Hasan Khairullah, lahir pada tahun 1265 H/1849 M. ia lahir dari lingkungan petani sederhana yang taat dan sangat mencintai ilmu pengetahuan. Munculnya pemikiran Abduh tentang pendidikan dilatar belakangi oleh kondisi sosial dan pemahaman keagamaan umat Islam Mesir waktu itu. Kondisi tersebut ditandai dengan pemikiran yang statis dan jumud, suburnya sikap taklid, khurafat dan bid'ah, serta sistem pendidikan yang bersifat dualistik. Adapaun cara Khurafat yang efektif dan efisien untuk mengobati penyakit tersebut adalah melalui pendidikan, untuk menciptakan model pendidikan yang demikian, maka perlu adanya upaya cerdas dan berani untuk merombak kemapanan sistem dualistic yang ada pada waktu itu. Hal ini disebabkan, karena Mesir pada waktu itu, terdapat dua model sistem pendidikan yang antara satu dengan yang sulit untuk dikompromikan;
Pertama, sistem pendidikan yang berorientasi pada agama dan menutup diri terhadap sistem pendidikan modern, sebagaimana yang dikembangkan Barat. Model yang demikian dapat terlihat pada sistem pendidikan al-Azhar.
Kedua, sistem pendidikan yang menekankan pada aspek intelektualitas, model pendidikan ini berorientasi pada pengembangan ilmu-ilmu modern dan menutup diri dari "jamaahan" ilmu-ilmu agama, model pendidikan yang demikian dapat terlihat pada lembaga pendidikan yang dibangun pemerintah maupun lembaga bangsa asing di Mesir. Melihat sistem yang pendidikan yang dualistik dan terkotak-kotak, maka Abduh mencoba mencairkan krital pemahaman dikotomik yang selama ini menghantui umat Islam.
Pada awalnya upaya Abduh yang mencoba bersikap akomodatif terhadap ilmu-ilmu umum (Barat), mendapat tantangan yang cukup berat tertutama dari ulama al-Azhar yang masih berpikiran "tradisional" dan statis, serta masyarakat awam yang dipengaruhi oleh ulama tradisional. Untuk itu, tidak heran jika akhirnya Abduh dihujat dan pada tahun 1905 harus rela tersingkir dari lingkungan universitas al-Azhar.[13]
5. Al-Azhar disini mengacu pada kitab Ihya' Ulumuddin juz 1 bagian kitab ilmu pada bab kedua dan ketiga, diterangkan secara luas dan mendalam mengenai ilmu pengetahuan yang berhubungan dengan tatanan sosial suatu masyarakat. Kemudian ia mengklasifikasikannya berdasarkan tiga kriteria:
1) Klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan tingkat kewajibannya
Al-Ghazali menerapkan ketentuan-ketentuan dasar dan landasan yang jelas di dalam hukum Islam sehubungan dengan kewajiban setiap individu (fardlu 'ain) dan kewajiban masyarakat (fadlu kifayah) untuk memenuhi kebutuhan lingkungan yang sedang berkembang.
2) Klasifikasi ilmu pengetahuan berdasarkan sumbernya
Al-Ghazali membedakan ilmu pengetahuan yang bersumber dari syari'ah (pengetahuan syari'ah) dan yang bukan syari'ah (pengetahuan bukan syari'ah).
a. Pengetahuan syari'ah
Al-Ghazali mengkhlasifikasikannya ke dalam empat bagian, yaitu:
1. Ushul (pokok atau asal) terdiri dari empat pengetahuan; al-Qur'an, as-sunnah, ijma' umat (tarikh) dan atsar sahabat.
2. Furu' (cabang) terdiri dari ilmu fiqh dan ilmu akhlak atau etika Islam.
3. Mukaddimah (pengantar/pendahuluan), seperti ilmu bahasa dan tata bahasa.
4. Mutammimah (penyempurna), seperti ilmu al-Qur'an, ilmu hadits dan ilmu atsar sahabat dan lain-lain.
b. Pengetahuan ghairu syari'ah (akliah)
Al-Ghazali disini membatasi dalam hal-hal, yaitu:
1. Dapat diamati (dicari atau dunia), seperti kedokteran, matematika, astronomi, teknik.
2. Tercapai persepsi (dharuri dan akhirat), seperti Allah dan sifatnya, dan hali.
3) Klasifikasi ilmu pengetahuan menurut fungsi sosialnya
Al-Ghazali membaginya menjadi dua macam yaitu:
a. Ilmu pengetahuan yang terpuji (mahmud) ialah pengetahuan yang bermanfaat dan tidak dapat dikesampingkan, bahkan kepada pengetahuan inilah aktivitas-aktivitas kehidupan bergantung, sebagaimana yang dikatakannya: ilmu pengetahuan yang terpuji ialah pengetahuan yang bersangkutan dengan persoalan dunia, seperti, ilmu kedokteran dan berhitung.
b. Ilmu pengetahuan yang terkutuk (madzmum) yaitu pengetahuan yang merugikan dan merusak manusia. Ia menyebutkannya antara lain, ilmu magis (sihir), azimat-azimat (tulasamat), ilmu terung (sya'bidzah) dan astrologi (talbisat).[14]
Sedang di Barat memasuki abad ke – 16 sejalan dengan abad perpecahan (aufklarung), pemisahan antara agama dan akal makin mengkristal dan masyarakat Barat abad ini merupakan puncak keemasan bagi paham humanisme sekuler. Mereka hanya mencapai kemampuan akal untuk mengungkapkan segala-galanya. Hal-hal yang berada diluar jangkauan akal dianggap bukanlah realitas, karena tidak dapat dibuktikan secara empiric. Pemikiran manusia Barat sama sekali terbebas dari hal-hal yang bersifat transendental. Mereka tak percaya Tuhan, karena Tuhan bersifat abstrak. Moralitas hanyalah sesuatu yang dianggap menguntungkan bagi manusia.
Akan tetapi setelah zaman pertengahan ini menemukan ruhnya, maka timbullah kerajaan modern yang mencoba untuk lebih bijaksana dalam penataan ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuanagama baik dalam tatanan praktis maupun teoritis sehingga masyarakat tidak kembali lagi pada zaman keterpunikan adanya jurang pemisah/dokotomik dalam ilmu pengetahuan.
D. Upaya-upaya Mengintegrasikan Dikotomi Dalam Ilmu Pengetahuan
Dalam Islam al-Qur'an tidak membedakan mana ilmu pengetahuan (umum) dan mana ilmu pengetahuan agama. Al-Qur'an sebagai sumber ilmu pengetahuan yang dari sana lahir berbagai ilmu, sebagaimana dinyatakan oleh Ismail Raji' al-Faruqi sebagai ilmuwan Islam dan Barat dalam keyakinan agamanya, ia tidak melihat bahwa Islam mengenal dikotomi ilmu pengetahuan karena ilmu dalam Islam bersumber pada al-Qur'an dan hadits. Bukan seperti sekarang, saat dunia Barat maju dalam bidang ilmu pengetahuan, namun kemajuan itu kering dari ruh spiritualitas. Itu tak lain karena adanya pemisahan dan dikotomi dalam ilmu pengetahuan. Maka sebagai solusi pemecahannya Ismail memunculkan konsep integrasi antara ilmu pengetahuan umum dan ilmu pengetahuan agama.
Ismail beralasan bahwa kegiatan ini ia lakukan semata-mata didorong oleh pandangannya bahwa ilmu pengetahuan di Barat dewasa ini benar-benar telah sekuler dan karenanya jauh dari tauhid. Maka, dirintislah teori dan resep pengobatan agar kemajuan dan pengetahuan tidak berjalan kebablasan diluar jalur etik, lewat konsep Islamsasi ilmu dan paradigma tauhid dalam pendidikan dan pengetahuan.
Selain itu Muhammad Abduh berpendapat bahwa melihat sistem pendidikan yang dualistik dan terkotak-kotak, maka Abduh mencoba mencairkan kristal pemahaman dikotomi yang selama ini menghantui umat Islam. Upaya tersebut ditujukan guna menyelamatkan umat Islam dari keterbelakangan, terutama dalam membangun wacana kebudayaan kekinian, melalui sistem pendidikannya yang integralistik ia mengusulkan agar di lembaga pendidikan Islam bersikap inklusif dan membuka diri terhadap ilmu-ilmu umum sebagaimana yang dikembangkan bangsa Barat. Demikian pula sebaliknya, memasukkan materi-materi agama pada kurikulum lembaga pendidikan umum, melalui hubungan integral antara dua kutub sistem pendidikan tersebut akan memunculkan daya gerak yang mampu memotivasi umat Islam mengejar ketinggalannya, tanpa melepaskan diri dari nilai-nilai spiritual yang diyakininya. Melalui ilmu umum, kekuatan nasional sebagai alat untuk menanamkan kebiasaan berfikir kritis. Sedangkan melalui ilmu agama akan membantu peserta didik dalam membangun kepribadian yang karimah (berakhlak mulia).[15]
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pecahnya bidang-bidangg ilmu pengetahuan di Barat dan Islam:
a. Di Barat: Ilmu mekanika, astronomi, urai, faal, hayat dan kimia.
b. Di Islam: - Berdasarkan tingkat kewajibannya.
- Berdasarkan sumbernya.
- Berdasarkan fungsi sosialnya.
2. Sejarah historis terjadinya dikotomi di Barat dan Islam, bahwasanya kemunduran peradaban dikarenakan faktor dari Barat juga banyak dipengaruhi oleh faktor dari umat Islam sendiri.
3. Pandangan Islam dan Barat terhadap dikotomi dalam ilmu pengetahuan, yaitu:
Islmail Raja' al-Faruqi (ilmuwan Barat dan Islam)
Ibnu Maskawaih
Ibnu Sina
Ibnu Khaldun
Muhammad Abduh
Al-Ghazali
4. Upaya mengintegrasikan dikotomi dalam ilmu pengetahuan, yaitu agar lembaga pendidikan Islam bersikap inklusif dan membuka diri terhadap ilmu-ilmu umum (non agama) sebagaimana dikembangkan bangsa Barat. Demikian pula sebaliknya memasukkan materi-materi agama pada kurikulum lembaga pendidikan umum. Melalui hubungan integral antara dua kutub sistem pendidikan tersebut akan memunculkan daya gerak yang mampu memotivasi umat Islam mengejar ketertinggalannya dari bangsa Barat tanpa melepaskan nilai-nilai spiritual yang diyakininya.
DAFTAR PUSTAKA
Jacob, Teuku. 1993. Manusia, Ilmu Dan Teknologi. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya.
Muhaimin. 2004. Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah. Bandung: PT. Rosdakarya.
Nizar, Samsul. 2001. Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama.
S. Suriasumantri, Jujun. 2001. Filsafat Ilmu; Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
W. Hofmann, Murad. 1999. Menengok Kembali Islam Kita. Bandung: Pustaka Hidayah.
Wilkes, Kelth. 1982. Agama Dan Ilmu Pengetahuan (terjemah). Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.Zainuddin, dkk. 1991. Seluk-beluk Dari Pendidikan al-Ghazali. Jakarta: Bumi Aksara.
foot note:
[1] Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 2001), 293-295.
[2] Ibid, 297.
[3] Zainuddin, dkk, Seluk-beluk Dari Pendidikan al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), 29.
[4] Kelth Wilkes, Agama Dan Ilmu Pengetahuan (terjemah), (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1982), 71.
[5] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (Bandung: PT. Rosdakaryaa, 2004), 41.
[6] Zainuddin, dkk, Seluk-beluk…, 34.
[7] Muhaimin, Paradigma Pendidikan Islam…, 41-42.
[8] Teuku Jacob, Manusia, Ilmu Dan Teknologi, (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1993), 20.
[9] Murad W. Hofmann, Menengok Kembali Islam Kita, (Bandung: Pustaka Hidayah, 1999), 71.
[10] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar Pemikiran Pendidikan Islam, (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), 25-26.
[11] Ibid, 13.
[12] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar…, 14-22.
[13] Ibid, 22-25.
[14] Zainuddin, dkk, Seluk-beluk…, 34-39.
[15] Samsul Nizar, Pengantar Dasar-dasar…, 24-25.

Jumat, 16 Mei 2008

Sastra Arab Dalam Unsurnya

الباب الثالث
مفهوم الأدب وعناصره
الفصل الأول
مفهوم الأدب وجنسه

فى الحقيقة أنّ معنى الأدب كان مختلفة من عصر إلى عصر من مرور تاريخيه. وهو يرتقي بارتقاء العصر أوالزّمان. وفى العصر الجاهلي هو يدلّ على معنيين, وهما الدعوة إلى الولائم[41] والخلق الكريم[42]. فلمّا ظهر عصر صدر الإسلام اتّسع معناه, فيدلّ أيضا هذا العصر على التهذيب النفسي, فمن ذلك لقول الرسول صلى الله عليه وسلم "أدبنى ربى فأحسن تأديبـى.... ". فالمادة هنا فعل متعدّ معناه التعليم[43]. ولماّ كان العصر الأموي تطوّر معنى الأدب تطوّرا واسعا. وربمّا يستطيع أن يستخلص على هذين المعنيين:
الأول: يدلّ معنى الأدب فى هذا العصر على الخلقي التهذيبي وهو أخذ النفس بالمرانة على الفضائل الاجتماعية, والشيم الكريمة, من حلم وكرم وشجاعة وصدق, ثم التأثّر بهذه المرانة لاكتساب الأخلاق الفاضلة والسيرة الحميدة فى الناس.
الثانى: هذا المعنى التعليمى القائم على رواية الشعر والنثر وما يتّصل بهما من نسب وخبر وأمثال ومعارف تزيد العقل نورا, والذوق صفاء, والنفس ثقافة وعرفانا.
وقد بقيت مادة الأدب تدلّ على هذين المعنيين منذ القرن الهجرى الأوّل إلى الآن مع تعديل بسيط يتناولهما ضيّقا وسعة خلال القرون التالية, ولكنّهما صارا أهمّ الأشياء حتى يقال: الأدب أدبان: أدب النفس وأدب الدرس.
فلمّا انتصف القرن الثانى ونشأت العلوم العربية كاللغة والنحو والصرف واتخذت لنفسها هذه الأسماء الاصطلاحية انضافت إلى معنى الأدب التعليمى, فاتّسع قليلا, وصارت الكلمة تدلّ على مأثور النظم والنثر وما يتّصل بهما من نسب وخبر وصرف ولغة ونقد. ولكنّ ذلك لم يدم طويلا, فإنّ الحضارة العبّاسية قد صحبها من قوّة العلوم العربية واستقلالها, ومن استحالة الأوضاع الاجتماعية, وتعدّد النواحي الثقافية ما جعل مادة الأدب فى أخريات القرن الثالث تؤدى المعانى الآتية:
أولا – هذا المعنى الخاص وهو الشعر والنثر وما يتّصل بهما من الأخبار والأنساب والأيّام, والأحكام النقديّة.
ثانيا – هذا المعنى العام الذى يتناول المعارف الإنسانية, والآثار العلمية, وأنواع الفنون الجميلة والرياضية ممّا يوسع الثقافة, ويكسب الشخص ظرفا وأناقة.
ثالثا – هذه العلوم الأدبية التى استقلّت وصارت شيئا غير الأدب الفنى الخالص وإن كانت لازمة للأديب يستكمل بها ثقافته, ويستعين بها على إنشاء الأدب, وفهمه, ونقده, كاللغة والنحو والنسب, والأخبار, والنقد.
رابعا – أدب النفس وقد اتّسع هذا المعنى فتناول كلّ أسلوب مستحسن فى علم أو عمل من خلق فاضل, وسيرة محمودة, وقوانين يلزمها كلّ ذي حرفة أو منصب.[44]
نعم, لقد عرفنا من البيان المذكور أنّ الأدب يرتقي ويختلف معناه من عصر إلى عصر فى مرور تاريخيه, وما زالت المعانى المذكورة لا تدلّ على حقيقة الأدب, وأمّا الأدب فى معناه الحقيقى فهو كما ذكر شاذلى فرهود أنّ الأدب هو الكلام البليغ الصادر عن عاطفة المؤثّر فى النّفوس[45].
وإذا تأمّلنا عن هذا التعريف نستطيع أن نستخلص أنّ الأدب لا بدّ أن يتكوّن من أربعة عناصر أدبية وهى العاطفة الصادقة, والخيال المصوّر والأفكار الجليلة أوالعبارات الجليلة. وذلك كما سيبيّنها الباحث فيما بعد الفصل الثانى.
من البيان السابق لقد عرفنا معنى الأدب الحقيقي وتطوّر هذا المعنى من عصر إلى عصر, والآن أراد الباحث فى الصدد أن يبحث عن جنس الأدب. كما ورد فى كتب تاريخيه أدبية أنّ الأدب جنسان وهما الشعر والنثر. مفهوم كل منهما كما يلى:
1) الشعر: هو الفنّ الذى ينقل الفكر من عالم الحسّ إلى عالم الخيال, والكلام الذى يصوّر مشاعر القلوب على أبدع مثال. والحقيقة تلبس أحيانا أثواب المجاز, والمعنى الكبير الذى تبرّزه الأفكار فى أحسن قوالب الإيجاز.[46]
2) النثر: هو القول العادى الذى ليست له قيود وزن أو قافية, وعبّر بعضهم أنّ النثر هو ما ليس بكلام موزون منظوم.[47]
الفصل الثانى
مفهوم العناصر الأدبية

قبل ما يبحث الباحث عن صورة العناصر الأدبية فى شعر جلال الدين الرومى فمن المستحسن أن يبحث الباحث أوّلا ما هو العناصر الأدبية؟ كما اتّفق النقّاد أنّ الأدب هو الفنّ الكلامى الذى يعبّر عن العقل ويصوّر الشعور, فلا بد أن تكون فى الأدب العناصر الأربعة وهي العاطفة والخيال والفكرة والأسلوب. وأمّا بيان كلّ من تلك العناصر الأربعة فكما يلى:
1. العاطفة
معنى كلمة العاطفة لغة هى: قال أحد علماء اللغة فى كتاب لويس معلوف أنّ العاطفة هى الشفقة.[48]
1) واصطلاحا, قال أحمد الشايب العاطفة هى اهمّ العناصر فى الأدب وهي الميزة التى تفصل الأدب من سواه[49]
2) وقال ايضا عبد الرحمن شكري أنّ العاطفة فى الشعر هى الأساس الذى يقوم عليه, والشعر ما اشعرك وجعلك تحسّ عواطف النّفس احساسا شديدا [50]
3) وقال ايضا أحمد نزار أنّ العاطفة هى انفعالات نفسية تنشأ فى الإنسان حالة سرور أوحبّ أو كره أوغضب. وهذه الحالات تؤثّر فى كنانة كل الإنسان.[51]
بعد ما نظر الباحث إلى الآراء السابقة فيقول أنّ الرأي الثالث (رأى أحمد نزار سلام) هو أقرب إلى القبول, لأنّ العاطفة هى أعمال نفسية تظهر فى الإنسان حالة سرور أو حزن أو حبّ أو كره أو غضب.
وأمّا عن صلة الأدبية بشخصية الأديب فمن المحقّق أنّ الأدب- بسبب قيامه على العاطفة- يكون معبّرا عن شخصية الأديب.
2. الخيال
الخيال عنصر من عناصر الأدب الأربعة التى تجعل انتاج الأدب نتيجة رائعة وجميلة ومتأثّرة للقارئ والسامع خاصة وللحياة الإنسانية عامة. والخيال له دور هام فى تصـوير الفـكرة وتقييدها بالعاطفة حتى تكون مستعدّة فى التعبير.
فالخيال بنسبة الحياة الأدبية هو من أدوات التعبير الفنىّ الذى لا بدّ للأديب أن يعتمد عليه. ولا يستطيع الأديب أن ينتج نتيجة الأدب إلاّ بعد تحليله عن الأشياء التى يقدّمه فى التجربة والمشهد. فالخيال الجيّد لا بدّ إسناده بالمحسوسات والمدركات ليصل الأديب فى خياله إلى خيال كلى وليس جزئيا.
قبل ما يبحث الباحث عن الخيال فتعرض معاني الخيال لغة فالخيال جمعه أخيلة وهو مشتق من فعل خال- يخول- خيالا وخيالة بمعنى التوهّم والظنّ, ولكن هناك معنى الخيال عكس هذا المعنى. فالخيال انجليزيا (Imagination).[52]
وقال صاحب كتاب أصول النقد الأدبى أنّ الخيال هو القوّة النفـسية التى تنهض الروعة والإشفاق بعرضـها صامتة ومفـسّرة ومصوّرة ومجسّمة[53]
وقيل أنّ الخيال هو الملكة المولّدة للتصوّرات الحسّية للأشياء المادية الغائبة عن النظر[54]
بذلك، الخيال ضرورى وملازم للعاطفة فى الشعر. إذ عن طريقه يستطيع الشاعر أن يبلغ أثره فى النفـوس ويرسم صوره فى براعة تلذّ وتمتّع.[55]
3. الفكرة
الفكرة جمعها أفـكار وهى مشتقة من فكر- يفكر- فكرا بمـعنى تردّد الخـاطر بالتأمّـل والتدبّر بطلب المعانى.[56] وفى اللغة الإنجليزية معناه Idea, ويقول أيضا إبراهيـم أنيس أنّ الفـكرة هى أعمال العقل فى المعلوم للوصول إلى معرفة مجهول أو نظر ورؤية.[57]
أمّا الفكرة عند أحد النقّاد وهى المعانى المنثورة فى الفكر.[58] وهى تعدّ أساسا فى كلّ الفـنون عدا الموسيقى الخالصة, والعنصر الرئيس فى الفنون الإقناعية والتعليمية كالمحاضرات والمقالات وكتب النقد والتاريخ لأنّها غاية المقصود. وقد تسمّى الفـكرة المعنى.[59] ويؤكّد ذلك محمد الصـادق بقوله "وإذا نحن قارنّا بين ما تعتبره الشعوب العربية من أجناس أدبها, ونعتبره نحن من عيون أدبنا, رأينا أنّ أبرز ما تميّز به أدبهم هو عنصر الفكرة."[60]
4. الأسلوب
الأسلوب لغة الطريق,[61] كقول محمّد عبد المطلب فى كتابه أنّ كل طريق ممتدّ فهو أسلوب.[62] فى الإنجليزية Style تعنى طريقـة الكـلام وهى مأخوذة من الكلـمة اللاتينية Stylas, بمعنى عود من الصـلب كان يستخدم فى الكتابة, ثم أخذت تطلق على طريقـة التعبير عند الكاتب.[63]
واصطلاحا يعرف أنّه الطريقة التى يتبعها الفرد فى التعبير عن أفكاره ومشاعره.[64] وعند أحمد هاشمى أنّ الأسلوب هى طريقة يستخدمها الكاتب ليبيّن رأيه من الكلام أو يعبّر عن موقفه بألفاظ مألّفة على صورة تكون أقرب لنيل الغرض المقصود من الكلام و أفعل فى نفوس سامعيه.[65] تواضح المتأدّبون وعلماء العربية على أنّ
الاسلوب هو الطريقة الكلامية التى يسلكها المتكلّم فى تأليف كلامه واختيار ألفاظه.[66] ولذلك كان الأسلوب كالعنصر الرابع من العناصر الأدبية يصور صورة العناصر الأخرى من العاطفة والخيال والفكرة.
41 طه حسين, فى الأدب الجاهلي. (القاهرة: دار المعارف, مجهول السنة), ص. 22.
42 جويرية دخلان، المرجع السابق. ص. 1.
43 أحمد الشا يب, المرجع السابق. ص. 4.
44 نفس المرجع. ص. 7-9.
45 شاذلي فرهود, الأدب؛ نصوصه و تاريخه. (القاهرة: دار المعارف, 1975), ص. 6.
46 محمّد زغلول سلام, المرجع السابق. ص. 119.
47 عبد العزيز شرفي, دراسات تطبيقية حول التفسير الإعلامي الحديث. (بيروت: دار الجيل, مجهول السنة), ص. 74.
48 لويس معلوف، المرجع السابق. ص. 513.
49 أحمد الشايب, المرجع السابق. ص. 211.
50 محمّد زغلول سلام, المرجع السابق. ص. 171.
51 أحمد نزار, البلاغة والنقد. (الكويت: مجهول الطبعة و السنة), ص. 126.
52 أحمد الشايب, المرجع السابق. ص. 30.
53 نفس المرجع. ص. 211.


54 جبور عبد النور, المعجم الأدب. (بيروت: داؤ العلم للملايين), ص. 244.
55 محمّد زغلول سلام, المرجع السابق. ص. 172-173.
56 لويس معلوف، المرجع السابق. ص. 591.
57 إبراهيم أنيس, المعجم الوسيط. ج.1, (بيروت-لبان: دار الكتب العلمية, مجهول السنة), ص.698.
58 محمّد زغلول سلام, المرجع السابق. ص. 77.
59 أحمد الشايب, المرجع السابق. ص. 31.
60 محمّد الصادق عفيفى, الدراسة الأدبية. (بيروت: دار الفكر, 1974) ص. 140-141.
61 إبراهيم أنيس, المرجع السابق. ص. 441.
62 محمّد عبـد المطلب, البلاغة و الأسلوبية. (مصر: الشركة المصرية العلمية للنشر- لونجمان, 1994) ص. 9.
63 جبور عبد النور, المرجع السابق, ص.20.
64 محمّد عبد المطلب, المرجع السابق, ص. 185.
65 أحمد هاشمي, جواهر البلاغة؛ في المعاني والبيان والبديع. (سورابايا: مكتبة الهداية, 1960) ص. 42-43. وانظر, محمّد التونجي, المعجم المفصّل فى الأدب. (بيروت-لبنان: دار الكتب العلمية, مجهول السنة), ص. 93.

66 محمّد عبد العظيم الزرقاني, مناهل العرفان في علوم القرأن. ج. 2, (بيروت: دار الفكر, 1996) ص. 303.